HaramJika di Pemakaman Umum. Setelah bersepakat bahwa meninggikan atau mendirikan bangunan adalah sebuah ke-Makruh-an, ulama 4 madzhab pun bersepakat atas keharaman meninggikan dan membangun di atas kuburan sebuah bangunan baik itu kamar, kubah atau pun tenda, jika itu berada di tanah Musabbalah [مسبلة].
– Hadits tentang kuburan. Kuburan atau makam merupakan tempat bersemayam para orang yang telah meninggal dunia. Kuburan ada banyak jenisnya, ada yang umum dan ada pula yang khusus ditempatkan umat agama tertentu. Misalnya tempat pemakaman muslim, isinya jelas kuburan orang muslim semua. Kemudian kuburan pahlawan, isinya hanya makam para pahlawan nasional saja. Sedangkan kuburan atau tempat makam umum bisa ditempati siapa ada yang berdebat sebaiknya seorang jenazah dimakamkan di mana, apakah tempat umum atau khusus muslim? Pada dasarnya petunjuk tersebut diterangkan dengan jelas di dalam hadits shahih yang akan kami bagikan di bawah yang tidak boleh dilupakan adalah mengucapkan doa melewati kuburan ketika masuk ke area pemakaman. Selain mengenai pemilihan tempat, hadits yang akan kami bagikan di bawah ini juga menjelaskan banyak hal penting lain mengenai Hadits Tentang Kuburan1. Kuburan Menakutkan2. Duduk di Atas Kuburan3. Makruh Membangun Kuburan4. Membangun Makam dengan Kubah5. Menghias KuburanDaftar Hadits Tentang KuburanUntuk lebih jelasnya langsung saja silahkan simak kumpulan daftar hadits shahih tentang kuburan ini. Simak ulasannya dalam bahasa Arab, latin, dan terjemahan Indonesia Kuburan Menakutkanمَا رَأَيْتُ مَنْظَرًا قَطُّ إِلَّا وَالْقَبْرُ أَفْظَعُ مِنْهُ “Tidak aku lihat pemandangan, kecuali kuburanlah yang paling menakutkan” HR. Ahmad.2. Duduk di Atas Kuburanﻧﻬﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻥ ﻳﺠﺼﺺ اﻟﻘﺒﺮ، ﻭﺃﻥ ﻳﻘﻌﺪ ﻋﻠﻴﻪ، ﻭﺃﻥ ﻳﺒﻨﻰ ﻋﻠﻴﻪ»“Rasulullah shalallahualaihi wasallam melarang untuk memplester kuburan, duduk di atasnya dan membangun kuburan” HR Muslim.3. Makruh Membangun Kuburanوكره بناء له أي للقبر أو عليه لصحة النهي عنه بلا حاجة كخوف نبش أو حفر سبع أو هدم سيل ومحل كراهة البناء إذا كان بملكه فإن كان بناء نفس القبر بغير حاجة مما مر أو نحو قبة عليه بمسبلة وهي ما اعتاد أهل البلد الدفن فيها عرف أصلها ومسبلها أم لا أو موقوفة حرم وهدم وجوبا لأنه يتأبد بعد انمحاق الميت ففيه تضييق على المسلمين بما لا غرض فيه.“Makruh membangun kuburan, sebab adanya larangan syara’. Kemakruhan ini ketika tanpa adanya hajat, seperti khawatir dibongkar, dirusak hewan atau diterjang banjir. Hukum makruh membangun kuburan ini ketika mayit di kubur di tanah miliknya sendiri, jika membangun kuburan dengan tanpa adanya hajat atau memberi kubah pada kuburan ini di pemakaman umum, yakni tempat yang biasa digunakan masyarakat setempat untuk mengubur jenazah, baik diketahui asalnya dan keumumannya atau tidak, atau di kuburkan di tanah wakaf, maka membangun kuburan tersebut hukumnya haram dan wajib dibongkar, sebab kuburan tersebut akan menetap selamanya meski setelah hancurnya mayit, dan akan menyebabkan mempersempit umat muslim tanpa adanya tujuan” Syekh Zainuddin al-Maliabar, Fath al-Mu’in, hal. 219.يكره أن يبنى على القبر بيت أو قبة أو مدرسة أو مسجد أو حيطان – إذا لم يقصد بها الزينة والتفاخر وإلا كان ذلك حراما “Makruh membangun pada kuburan sebuah ruang, kubah, sekolah, masjid, atau tembok, ketika tidak bertujuan untuk menghias dan memegahkan, jika karena tujuan tersebut, maka membangun pada makam dihukumi haram” Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 1, hal. 536.4. Membangun Makam dengan Kubahﻗﺒﻮﺭ اﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ ﻳﺠﻮﺯ ﺑﻨﺎﺅﻫﺎ ﻭﻟﻮ ﺑﻘبﺔ ﻹﺣﻴﺎء اﻟﺰﻳﺎﺭﺓ ﻭاﻟﺘﺒﺮﻙ. ﻗﺎﻝ اﻟﺤﻠﺒﻲ ﻭﻟﻮ ﻓﻲ ﻣﺴﺒﻠﺔ، ﻭﺃﻓﺘﻰ ﺑﻪ“Makam para ulama boleh dibangun meskipun dengan kubah, untuk menghidupkan ziarah dan mencari berkah. Al-Halabi berkata Meskipun di lahan umum”, dan ia memfatwakan hal itu Syekh Abu Bakr Muhammad Syatha, Hasyiyah Ianah Ath-Thalibin, juz 2, hal. 137.5. Menghias Kuburanﻗﺎﻝ اﻷﺋﻤﺔ ﻭﺣﻜﻤﺔ اﻟﻨﻬﻲ اﻟﺘﺰﻳﻴﻦ ﺃﻗﻮﻝ ﻭﺇﺿﺎﻋﺔ اﻟﻤﺎﻝ ﻟﻐﻴﺮ ﻏﺮﺽ ﺷﺮﻋﻲ“Para ulama berkata, Hikmah alasan larangan membangun kuburan adalah menghias.’ Saya Umairah katakana, Juga karena menghamburkan harta tanpa tujuan yang dibenarkan syari’at’,” Ahmad al-Barlasi al-Umairah, Hasyiyah Umairah, juz 1, hal. 441.KesimpulanSekian pembahasan dari kumpulan hadits tentang kuburan, hadits tentang rumah seperti kuburan, hadits tentang larangan duduk di atas kuburan, hadits tentang membangun kuburan, hadits tentang menabur bunga di kuburan, hadits tentang duduk diatas kuburan, hadits tentang larangan shalat di masjid yang ada kuburannya, hadits riwayat muslim tentang Hadits Tentang MenabungHadits Shahih Tentang Mencukur AlisBacaan Doa Ziarah Kubur SingkatHukummakruh membangun kuburan ini ketika mayit di kubur di tanah miliknya sendiri, jika membangun kuburan dengan tanpa adanya hajat atau memberi kubah pada kuburan ini di pemakaman umum, yakni tempat yang biasa digunakan masyarakat setempat untuk mengubur jenazah, baik diketahui asalnya dan keumumannya atau tidak, atau di kuburkan di tanahLARANGAN MENDIRIKAN MASJID DI ATAS KUBURANOleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه اللهAhlus Sunnah berkeyakinan bahwa tidak boleh membangun masjid di atas kuburan. Membangun masjid di atas kuburan merupakan kesesatan dalam agama. Di samping itu, perbuatan ini merupakan jalan menuju syirik serta menyerupai perbuatan Ahlul Kitab. Perbuatan tersebut juga akan mendatangkan kemurkaan dan laknat Allâh Azza wa Jalla .Masalah ini termasuk masalah paling besar yang telah menimpa ummat Islam. Dewasa ini telah banyak ditemukan masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan dan dibangun juga kubah-kubah di atasnya. Bahkan, tidak sedikit kuburan yang ditinggikan dan dibangun dengan hiasan yang ketinggiannya melebihi tinggi tubuh manusia serta dihias dengan hiasan-hiasan yang mewah, padahal itu perbuatan haram. Sementara, orang-orang datang mengunjunginya untuk mencari dan minta berkah, berdo’a memohon kepada penghuninya, menyembelih binatang dan memohon syafa’at serta kesembuhan dari mereka perbuatan itu semua termasuk ke dalam syirik akbar. Itulah fakta yang kita dapati diberbagai negeri Islam di zaman ini. Kiranya tidak perlu kami buktikan kenyataan ini. Lâ Haula wa lâ quwwata illâ billâh Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan dari Allâh.[1]Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Ummu Habîbah Radhiyallahu anha dan Ummu Salamah Radhiyallahu anha menceritakan kepada Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam tentang gereja dengan patung-patung yang ada di dalamnya yang mereka lihat di negeri Habasyah Ethiopia, maka Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaأُولَئِكِ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُوْلَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ itu adalah suatu kaum, apabila ada seorang hamba yang shalih atau seorang yang shalih meninggal di antara mereka, mereka bangun di atas kuburannya sebuah masjid tempat ibadah dan mereka buat di dalam tempat itu rupaka-rupaka patung-patung.Mereka itulah makhluk yang paling buruk di hadapan Allâh pada hari kiamat.[2]Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabdaلَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَLaknat Allâh atas Yahudi dan Nashrani, mereka telah menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat ibadah.[3]Dari Jundub bin Abdillah Radhiyallahu anhu berkata, “Aku mendengar bahwa lima hari sebelum Nabi Shallallahu alaihi wa sallam wafat, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabdaإِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللهِ أَنْ يَكُوْنَ لِي مِنْكُمْ خَلِيْلٌ، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيْلاً، كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيْلاً لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلاً، أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَSungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allâh dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang khalîl kekasih mulia di antara kamu, karena sesungguhnya Allâh telah menjadikan aku sebagai khalîl. Sekiranya aku boleh menjadikan seorang khalîl dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalîl. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid tempat ibadah.Ingatlah, janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai masjid tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.[4]Yang dimaksud dengan اِتِّخَاذُ الْقُبُوْرِ مَسَاجِدَ yaitu menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid tempat ibadah, mencakup tiga hal, sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah [5]Tidak boleh shalat menghadap kubur, karena ada larangan tegas dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam لاَ تُصَلُّوْا إِلَى الْقُبُوْرِ وَلاَ تَجْلِسُوْا عَلَيْهَاJangan kamu shalat menghadap kubur dan jangan duduk di atasnya.[6]Tidak boleh sujud di atas boleh membangun masjid di atasnya tidak boleh shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan.Beliau Shallallahu alaihi wa sallam juga menyebutkan dalam kitabnya, bahwa membangun masjid di atas kubur hukumnya haram dan termasuk dosa besar menurut empat madzhab.[7]Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Bâz rahimahullah menjelaskan dalam fatwanyaHadits-hadits larangan tersebut menunjukkan tentang haramnya membangun masjid di atas kubur dan tidak boleh menguburkan mayat di dalam masjid.[8]Tidak boleh shalat di masjid yang di sekelilingnya terdapat kuburan.[9]Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan di dalam kitabnyaSiapa yang mengubur seseorang di dalam masjid, maka ia harus memindahkannya dan mengeluarkannya dari yang mendirikan masjid di atas kuburan, maka ia harus membongkarnya merobohkannya.[10]Dinyatakan pula oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali dalam kitabnya[11], bahwa menjadikan kubur sebagai tempat ibadah termasuk dosa besar, dengan sebabOrang yang melakukannya mendapat laknat Allâh Azza wa Jalla .Orang yang melakukannya disifatkan dengan sejelek-jelek orang Yahudi dan Nasrani, sedangkan menyerupai mereka hukumnya Ibnu Qayyim al-Jauziyah t menyebutkan dalam kitabnya, Zâdul Ma’âd[12], “Berdasarkan hal itu, masjid harus dibongkar bila dibangun di atas kubur. Sebagaimana halnya kubur yang berada dalam masjid harus dibongkar. Pendapat ini telah disebutkan oleh Imam Ahmad dan lainnya. Tidak boleh bersatu antara masjid dan kuburan. Jika salah satu ada, maka yang lain harus tiada. Mana yang terakhir ada itulah yang dibongkar. Jika didirikan bersamaan, maka tidak boleh dilanjutkan pembangunannya, dan wakaf masjid tersebut dianggap batal. Jika masjid tetap berdiri, maka tidak boleh shalat di dalamnya yaitu di dalam masjid yang ada kuburannya berdasarkan larangan dari Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam dan laknat Beliau Shallallahu alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang menjadikan kubur sebagai masjid atau menyalakan lentera di atasnya. Itulah dienul Islam yang Allâh turunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad n , meskipun dianggap asing oleh manusia sebagaimana yang engkau saksikan.”[13]Bagaimana dengan makam Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam yang berada dalam Masjidin Nabawi? Jawaban terhadap syubhat yang ada, “Ada orang berkata, sekarang ini kita dalam dilema sehubungan dengan makam Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam karena kuburan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam berada tepat di tengah masjid. Bagaimana menjawabnya?”Jawabannya adalah sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam ketika meninggal dunia dimakamkan di kamar Aisyah Radhiyallahu anhuma di rumahnya sebelah masjid, dipisahkan dengan tembok dan ada pintu yang Beliau Shallallahu alaihi wa sallam biasa lewati untuk keluar menuju masjid. Hal ini adalah perkara yang sudah disepakati para Ulama dan tidak ada perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya para Shahabat g menguburkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di kamarnya. Mereka lakukan demikian supaya tidak ada seorang pun sesudah mereka menjadikan kuburan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam sebagai masjid atau tempat ibadah, sebagaimana hadits dari Aisyah Radhiyallahu anhuma dan yang lainnya.Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sakit yang karenanya Beliau Shallallahu alaihi wa sallam meninggal, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaلَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَAllâh melaknat kaum Yahudi dan Nasrani, karena mereka menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat peribadahan.Aisyah Radhiyallahu anhuma melanjutkanوَلَوْلاَ ذَلِكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ غَيْرَ أَنَّهُ خُشِيَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًاSeandainya bukan karena larangan itu tentu kuburan Beliau sudah ditampakkan di atas permukaan tanah berdampingan dengan kuburan para Shahabat di Baqi’. Hanya saja Beliau khawatir akan dijadikan sebagai tempat ibadah.[14]Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaاَللّٰهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَنًا، لَعَنَ اللهُ قَوْمًا اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَYa Allâh! Janganlah Engkau menjadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah. Allâh melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai tempat untuk ibadah.[15]Kemudian –Qaddarallahu wa Maasyaa’a Fa’ala— terjadi sesudah mereka apa yang tidak diperkirakan sebelumnya, yaitu pada zaman al-Walid bin Abdul Malik tahun 88 H. Ia memerintahkan untuk membongkar masjid Nabawi dan kamar-kamar istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam termasuk juga kamar Aisyah Radhiyallahu anhuma sehingga dengan demikian masuklah kuburan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ke dalam Masjid Nabawi.[16]Pada saat itu tidak ada seorang Shahabat pun di Madinah an-Nabawiyyah. Sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan muridnya al-Allamah al-Hâfizh Muhammad Ibnu Abdil Hadi rahimahullah, “Sesungguhnya dimasukkannya kamar Beliau Shallallahu alaihi wa sallam ke dalam masjid pada masa khilafah al-Walid bin Abdil Malik, sesudah wafatnya seluruh Shahabat Radhiyallahu anhum yang ada di Madinah. Dan yang terakhir wafat adalah Jâbir bin Abdillah[17], yang wafat pada zaman Abdul Malik pada tahun 78 H. Sedangkan al-Walid menjabat khalifah tahun 86 H dan wafat pada tahun 96 H. Maka dari itu, dibangunnya renovasi masjid dan masuknya kamar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam terjadi antara tahun 86-96 H.[18]Perbuatan al-Walid bin Abdil Malik ini salah -semoga Allâh mengampuninya-.[19]Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan dalam Fat-hul Bâri dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam al-Jawâbul Bâhir, “Bahwa kamar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tatkala dimasukkan ke dalam masjid, ditutup pintunya, dibangun atasnya tembok lain untuk menjaga agar rumah Beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak dijadikan tempat perayaan dan kuburnya tidak dijadikan berhala.”[20]Larangan shalat di masjid yang ada kuburnya atau masjid yang dibangun di atas kubur mencakup semua masjid di seluruh dunia kecuali Masjid Nabawi. Hal tersebut karena Masjid Nabawi mempunyai keutamaan yang khusus yang tidak didapati di seluruh masjid di muka bumi kecuali Masjidil Haram dan Masjidil sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هٰذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَShalat di Masjidku ini lebih utama 1000 seribu kali daripada shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram.[21]صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هٰذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ الْمَسْجِدَ di Masjidku ini lebih utama 1000 seribu kali daripada shalat di masjid-masjid yang lain, kecuali Masjidil Haram.[22]صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هٰذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ، فَصَلاَةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُShalat di Masjidku ini lebih utama 1000 seribu kali daripada shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram, maka shalat di Masjidil Haram lebih utama seratus ribu kali daripada shalat di masjid yang lainnya.[23]مَا بَيْنَ بَيْتِيْ وَمِنْبَرِيْ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ وَمِنْبَرِيْ عَلَى rumahku dan mimbarku ada taman dari taman-taman Surga dan mimbarku di atas telagaku.[24]Dan keutamaan-keutamaan yang lain yang tidak didapati di masjid lainnya. Kalau dikatakan tidak boleh shalat di masjid Beliau berarti menyamakan dengan masjid-masjid lainnya dan menghilangkan keutamaan-keutamaan ini dan hal ini jelas tidak boleh.[25]Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah berkata tentang syubhat tersebut[26]Masjid Nabawi itu tidak didirikan di atas kuburan, tetapi masjid didirikan pada zaman Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam .Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak dikuburkan di dalam masjid, namun dikubur di dalam rumah Beliau Shallallahu alaihi wa sallam .Menggabungkan rumah Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam , termasuk pula rumah Aisyah Radhiyallahu anhuma dengan masjid, bukan atas kesepakatan para Shahabat. Hal ini terjadi setelah sebagian besar Shahabat sudah meninggal dunia dan yang masih hidup saat itu tinggal sedikit, kira-kira pada tahun 94 H. Hal ini termasuk masalah yang tidak disepakati semua Shahabat yang masih ada. Yang pasti bahwa sebagian di antara mereka menentang rencana itu, termasuk pula Sa’id bin al-Musayyab,[27] dari kalangan Tabi’ tidak ridha atas hal itu.[28]Kuburan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak berada di dalam masjid Nabawi, meskipun setelah itu masuk di dalamnya, karena kuburan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam ada dalam ruangan tersendiri yang terpisah dengan masjid, sehingga masjid tidak didirikan di atas kuburan. Karena itu tempat tersebut dijaga dan dilapisi tiga dinding. Dinding-dinding itu berbentuk segi tiga yang posisinya miring dengan arah Kiblat, sedangkan rukun tiang di sisi utara, sehingga orang yang shalat tidak mengarah ke sana, karena bentuknya agak a’lam.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVIII/1436H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Lihat Manhajul Imâm asy-Syâfi’i fii Itsbâtil Aqîdah I/259-264 karya DR. Muhammad bin Abdul Wahhab al-Aqil. [2] HR. Al-Bukhâri no. 427, 434, 1341 dan Muslim no. 528 bab an-Nahyu an Binâ-il Masâjid alal Qubûri wa Ittikhâdzish Shuwari fîha wan Nahyu an Ittikhâdzil Qubûri Masâjid Larangan Membangun Masjid di Atas Kuburan dan Larangan Memasang di Dalamnya Gambar-Gambar Serta Larangan Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid dan Abu Awanah I/401. [3] HR. Al-Bukhari no. 435, 436, 3453, 3454, 4443, 4444, 5815, 5816 dan Muslim no. 531 22 dari Aisyah Radhiyallahu anhuma. [4] HR. Muslim no. 532 23 bab bab an-Nahyu an Binâ-il Masâjid alal Qubûri wa Ittikhâdzish Shuwari fîha wan Nahyu an Ittikhâdzil Qubûri Masâjid Larangan Membangun Masjid di Atas Kuburan dan Larangan Membuat Patung-Patung serta Larangan Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid. [5] Lihat Tahdzîrus Sâjid min Ittikhâdzil Qubûr Masâjid hlm. 29-44 oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. I/ Maktabah al-Ma’arif/ th. 1422 H. [6] HR. Muslim no. 972 98 dan lainnya dari Sahabat Abu Martsad al-Ghanawi Radhiyallahu anhu. [7] Tahdzîrus Sâjid hlm. 45-62. [8] Fatâwâ Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Bâz IV/337-338 dan VII/426-427, dikumpulkan oleh Dr. Muhammad bin Sa’ad asy-Syuwai’ir, cet. I, th. 1420 H. [9] Lihat Fatâwâ Muhimmah Tata’allaqu bish Shalâh hlm. 17-18, no. 12 oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz, cet. I, Daarul Fa-izin lin Nasyr – th. 1413 H. [10] Lihat al-Qaulul Mufîd ala Kitâbit Tauhîd I/402 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin. [11] Lihat Mausû’atul Manâhi asy-Syar’iyah I/426. [12] Zâdul Ma’âd fii Hadyi Khairil Ibâd III/572 tahqiq Syu’aib dan Abdul Qadir al-Arnauth, cet. Mu-assasah ar-Risalah, H. [13] Tentang harus dibongkarnya masjid yang dibangun di atas kubur itu tidak ada khilaf di antara para Ulama yang terkenal, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Iqthidhâ’us Shirâthil Mustaqîm II/187 tahqiq dan ta’liq DR. Nashir bin Abdul Hakim al-Aql, cet. VI Darul Ashimah. [14] HR. Al-Bukhâri no. 1330, Muslim no. 529 19, Abu Awânah I/399 dan Ahmad VI/80, 121, 255. Perkataan Aisyah Radhiyallahu anhuma ini menunjukkan dengan jelas tentang sebab mengapa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dikuburkan di rumahnya. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menutup jalan supaya tidak dibangun di atasnya masjid sebagai tempat ibadah. Maka, tidak boleh dijadikan alasan tentang bolehnya mengubur di rumah, karena hal ini menyalahi hukum asal. Menurut Sunnah menguburkan mayat di pekuburan kaum Muslimin. Lihat Tahdzîrus Sâjid hlm. 14 [15] HR. Ahmad II/246, al-Humaidi dalam Musnadnya no. 1025 dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Sanadnya shahih. Diriwayatkan juga oleh Imam Mâlik I/156 no. 85, dari Atha’ bin Yasar secara marfu’. Hadits ini mursal shahih. Lihat Tahdzîrus Sâjid hlm. 25-26 [16] Lihat Târîkhuth Thabari V/222-223 dan Târîkh Ibni Katsir IX/74-75.Dinukil dari Tahdzîrus Sâjid hlm. 79. [17] Beliau adalah seorang Shahabat yang mulia, Jâbir bin Abdillah bin Amr bin Haram bin Ka’ab al-Anshari as-Silmi Radhiyallahu anhuma . Seorang yang banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , ikut dalam bai’at Aqabah dan ikut bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam banyak peperangan. Setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam meninggal, beliau Radhiyallahu anhu membuat halaqah kajian di Masjid Nabawi untuk ditimba al-Ishâbah I/213 no. 1026. [18] Lihat al-Jawâbul Bâhir fii Zuwwâril Maqâbir hlm. 175tahqiq DR. Ibrahim bin Khalid bin Isa al-Mukhlif, Majmû’ Fatâwâ XXVII/419 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, juga Tahdzîrus Sâjid hlm. 79-80 oleh Syaikh al-Albani. [19] Tahdzîrus Sâjid hlm. 86 oleh Syaikh al-Albani. [20] Al-Jawâbul Bâhir fii Zuwwâril Maqâbir hlm. 184. [21] HR. Muslim no. 1395 dari Sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma. [22] HR. Al-Bukhâri no. 1190, Muslim no. 1394, at-Tirmidzi no. 325, Ibnu Majah no. 1404, ad-Darimi I/330, al-Baihaqi V/246, Ahmad II/256, 386, 468, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Irwâ-ul Ghalîl no. 971. [23] Ahmad III/343, 397, Ibnu Majah no. 1406 dari Shahabat Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu. [24] HR. Al-Bukhâri no. 1196, 1888, Muslim no. 1391, Ibnu Hibban no. 3750/at-Ta’lîqâtul Hisân alâ Shahîh Ibni Hibbân no. 3742, al-Baihaqi V/246, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. [25] Lihat Tahdzîrus Sâjid hlm. 178-182. [26] Lihat al-Qaulul Mufîd alâ Kitâbit Tauhîd I/398-399. [27] Nama lengkapnya Sa’id bin al-Musayyab bin Hazan bin Abi Wahhab al-Makhzumi al-Qurasyi. Dia adalah seorang ahli Fiqih di Madinah. Dia menguasai ilmu hadits, fiqih, zuhud, wara’. Dia orang yang paling hafal hukum-hukum Umar bin Khaththab dan keputusan-keputusannya, wafat di Madinah th. 94 H. Lihat Taqrîbut Tahdzîb I/364 no. 2403 dan Siyar A’lâmin Nubalâ’ IV/217-246, no. 88. [28] Majmû’ Fatâwâ XXVII/420 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Home /B1. Topik Bahasan3 Ibadah.../Larangan Mendirikan Masjid Di... qr5Lmev.